
Jakarta, 24 April 2025 — Badan Pengelola Tabungan Perumahan Rakyat (BP Tapera) bersama Tim Satuan Tugas (Satgas) Perumahan melakukan kunjungan silaturahmi ke kediaman tokoh nasional dan ekonom senior, Prof. Emil Salim. Kunjungan ini merupakan bagian dari upaya BP Tapera dan Satgas Perumahan dalam menjalin komunikasi serta menggali pandangan strategis terkait permasalahan perumahan di Indonesia.
Hadir dalam kunjungan tersebut Deputi Komisioner Bidang Pemupukan Dana Tapera, Doddy Bursman; Deputi Komisioner Bidang Pemanfaatan Dana Tapera, Sid Herdi Kusuma; serta Bonny Z. Minang selaku anggota Satgas Perumahan yang ditugaskan oleh Presiden Prabowo.
Dalam perbincangan hangat yang berlangsung di kediaman Prof. Emil Salim, sejumlah isu krusial mengenai tantangan penyediaan perumahan di Indonesia dibahas secara mendalam. Prof. Emil menekankan pentingnya pendekatan makro dalam menyelesaikan persoalan perumahan, khususnya dalam aspek perencanaan tata ruang yang dinilai masih menjadi tantangan besar di kota-kota besar tanah air.
“Negara harus berpikir secara macro value dalam merencanakan pembangunan. Permasalahan perumahan tidak bisa dilihat secara parsial, harus dimulai dari perencanaan tata ruang yang matang,” ujar Prof. Emil Salim.
Bonny Z. Minang menambahkan bahwa perhatian Presiden Prabowo terhadap tata ruang sangat besar. Ia menegaskan bahwa pembangunan perumahan di atas lahan pertanian produktif, seperti sawah, tidak seharusnya dilakukan.
“Pak Prabowo sangat concern. Tata ruang itu menjadi sangat mutlak. Tanah sawah itu tidak boleh dibangun perumahan. Karena kultur kita di Indonesia itu 30 persen tanah dan 70 persen air, maka hindari pembangunan landed di kota. Solusinya adalah pembangunan vertikal. Kultur ini harus segera diubah. Jangan mencari pembenaran dengan alasan keterbatasan lahan, lalu lahan produktif untuk pertanian justru dikorbankan untuk perumahan,” tegas Bonny.
Menanggapi hal tersebut, Prof. Emil memberikan pandangan realistis dari kondisi di lapangan. Ia menjelaskan bahwa tantangan terbesar dalam pembangunan perumahan adalah persoalan kontur tanah. Banyak lahan di Indonesia yang berbukit, sehingga membutuhkan biaya tinggi untuk diratakan. Karena alasan efisiensi biaya, lahan sawah yang relatif datar dan siap bangun seringkali dijadikan sasaran pengembangan perumahan.
“Realitasnya, untuk membangun perumahan, tantangannya adalah bagaimana mengelola tanah yang berbukit-bukit menjadi datar. Dari sisi biaya, agar murah, maka areal persawahan banyak dilirik untuk dibangun area perumahan. Padahal sejatinya, biaya membangun kembali lahan persawahan jauh lebih mahal ketimbang membangun perumahan. Secara makro, ini berarti Pemerintah telah mengorbankan produksi pangan,” ujar Prof. Emil.
Menutup diskusi, Prof. Emil mengajak semua pihak untuk melakukan evaluasi dan penataan ulang terhadap kebijakan tata ruang, khususnya di wilayah strategis seperti Jawa Barat.
“Ayo kita tata ruang kita lagi, mulai dari Jawa Barat. Kita perlu tetapkan dengan tegas, mana yang kita utamakan untuk pangan, dan mana untuk permukiman,” tutupnya.
Sebagai tokoh bangsa, Prof. Emil Salim memiliki rekam jejak panjang dalam pemerintahan, khususnya di era Presiden Soeharto. Ia pernah menjabat di berbagai posisi strategis, di antaranya:
- Menteri Negara Penyempurnaan dan Pembersihan Aparatur Negara (1971–1973), merangkap Wakil Kepala Bappenas
- Menteri Perhubungan (1973–1978)
- Menteri Negara Urusan Kependudukan dan Lingkungan Hidup (1978–1983)
- Menteri Negara Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup (1983–1993)
Selain dikenal sebagai birokrat senior, Prof. Emil juga merupakan intelektual yang berperan besar dalam pengembangan konsep pembangunan berkelanjutan di Indonesia. Ia tercatat sebagai salah satu menteri dengan masa jabatan terpanjang secara berturut-turut dalam sejarah pemerintahan Indonesia.
Kunjungan ini menjadi langkah awal dalam membangun sinergi antara pemangku kepentingan perumahan dan tokoh-tokoh bangsa dalam rangka mewujudkan hunian layak yang tetap menjaga keberlanjutan lingkungan dan ketahanan pangan nasional.


